BADAR.CO.ID

Idul Fitri Antara Kembali Ke Fitrah dan Rutinaitas Duniawi

Mujaddun, S.PdI.,

Badar.co.id - Ramadhan sebagai bulan pelatihan pada tahun 1446 H ini telah berlalu. Puncak capaian yang menjadi target saat pelatihan dalam Ramadhan adalah taqwa. Jadi dapat kita pahami bahwa untuk mencapai derajat taqwa diperlakukan satu pengorbanan diri untuk menundukkan dan mengendalikan nafsu kita sebagai manusia dalam rangka tunduk dan patuh mengikuti perintah Allah SWT. Kendati perut kita sudah minta untuk diisi, trenggorokan kita minta di basahi dan lain sebagainya, namun karena tunduknya kita kepada Allah maka nafsu makan itu bisa dikendalikan sampai pada batas waktu yang ditentukan.

Firman Allah Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah 185

Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur. (QS.Al-Baqarah: 185)

Memasuki awal bulan syawwal sekaligus akhir Ramadhan Allah memerintahkan kita untuk mengagungkan-Nya (takbir) atas semua petunjuk hidup yang diberikan-Nya kepada manusia. Apakah hanya dengan berucap atau menggemakan takbir sudah selesai pada persoalan mengangungkan Allah?, tentu tidak hanya demikian. Bahwa tiga aspek yang memenuhi unsur manusia itu hidup harus terpenuhi yaitu aspek hati, aspek ucapan dan aspek tindakan. Dalam melangsungkan takbir yang diantunkan memungkinkan hanya memenuhi aspek hati dan ucapan atau hanya memenuhi aspek ucapan saja, tentu hal yang demikian belumlah memenuhi unsur untuk manusia hidup yang sesungguhnya. Sejatinya dalam mengagungkan Allah yang bermuatan perintah dan larang-Nya harus diejawantahkan dalam tindakan nyata. Antara pelatihan dan perwujudan adalah korelasi yang sistematis dimana hasil dari pelatihan membuahkan ketaqwaan. ketaqwaan itu yang harus mewujud dalam kehidupan nyata dengan menjalankan segala apa yang dipedomankan dalam menjalankan hidup kepada kita

Salah satu kebahagiaan bagi orang yang berpuasa adalah saat ia berbuka, dan kelak ketika bertemu dengan Allah SWT di akhirat. Lebaran, yang menjadi tradisi umat Islam di Indonesia, sejatinya merupakan perayaan idulfitri, sebuah momen yang dianggap sebagai kembalinya manusia kepada fitrah. Setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan dan menyempurnakannya dengan zakat, umat Islam meyakini diri mereka kembali dalam keadaan suci bersih tanpa noda.

Itulah sebabnya, dalam momen idulfitri ucapan "Minal aidin wal faizin" kerap terdengar sebahagi ungkapan doa agar kita termasuk dalam golongan orang-orang yang kembali (kepada fitrah) dan memperoleh kemenangan (atas hawa nafsu). Fitrah yang dimaksud bukan sekadar kesucian dalam arti moral dan spiritual, tetapi juga kesadaran baru setelah melewati madrasah Ramadan.

Namun, di tengah keyakinan akan kembalinya manusia kepada fitrah, ada ironi yang tak bisa diabaikan. Apakah idulfitri benar-benar membawa kita kembali kepada kesucian, atau justru sekadar kembali kepada "fitri" dalam arti yang lebih duniawi, yaitu kembali kepada rutinitas makan dan konsumsi? Kebutuhan biologis manusia akan makanan memang alami, tetapi apakah momentum spiritual Ramadan benar-benar berdampak pada pola hidup kita, atau justru membuka pintu bagi perilaku konsumtif yang tak terkendali?

Fenomena ini tampak nyata dalam pola konsumsi masyarakat selama Ramadan dan idulfitri. Berbagai informasi menunjukkan bahwa setiap Ramadan, inflasi harga bahan pokok meningkat signifikan akibat lonjakan permintaan. Masyarakat yang seharusnya berlatih menahan diri dari hawa nafsu justru larut dalam euforia konsumsi, mulai dari berburu makanan berbuka hingga memborong kebutuhan lebaran secara berlebihan. Bahkan, di tengah bulan suci yang seharusnya menjadi ladang kesalehan, praktik kecurangan ekonomi, korupsi, dan spekulasi harga tetap marak terjadi.

Idul Fitri Antara Kembali Ke Fitrah dan Rutinaitas Duniawi (foto Ilustrasi)

Paradoks ini tentu mengkhawatirkan. Jika Ramadan hanya menjadi serangkaian ritual tanpa perubahan moral yang nyata, maka puasa kita hanya akan menjadi bentuk lain dari keberagamaan simbolik, sekadar rutinitas fisik tanpa dampak spiritual yang mendalam. Ramadan yang seharusnya menahan hawa nafsu justru menjadi ajang pesta konsumtif yang berlawanan dengan esensi latihan pengendalian diri.

Sabda Rasulullah saw: “Betapa banyak orang yang puasa akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga (haus)”. (HR. An Nasa'i dan Ibnu Majjah).

|BACA JUGA :

PEMUDA RELEGIUS BATU BARA: ZAKAT SISTEM PEREKONOMIAN

Tokoh Muda Relegius Batu Bara: Qiyamullail sarana Qur’anisasi diri

Tokoh Pemuda Relegius Batu Bara: Kedamaian dalam Toleransi

Tausyiah Ramadhan Tokoh Pemuda Relegius Batu Bara : Ramadhan Latihan Pertahanan Diri

Di tengah berbagai kontradiksi ini, kita tetap harus optimis. Fitrah dalam arti yang lebih mendalam tetap memiliki potensi tauhid, yakni kesadaran akan hubungan kita dengan Allah dan tanggung jawab kita terhadap sesama. Harapan akan lahirnya kesadaran baru, sebagai buah dari ibadah yang kita jalani, tetap menjadi kemungkinan yang nyata. Idulfitri bukan hanya tentang kembali makan setelah berpuasa, tetapi juga tentang bagaimana kita menghidupi nilai-nilai Ramadan dalam kehidupan sehari-hari. Kesalehan sosial yang berkelanjutan menjadi kunci, agar keberagamaan kita tidak berhenti pada tataran seremonial, tetapi benar-benar membentuk karakter dan perilaku kita dalam kehidupan bermasyarakat.

Pada akhirnya, IdulFitri bukan hanya perayaan, tetapi juga evaluasi, apakah kita benar-benar kembali kepada fitrah yang suci, atau hanya kembali kepada kebiasaan lama tanpa perubahan yang berarti?

Penulis: Mujaddun, S PdI.,

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama